Dolar AS menguat di sesi perdagangan Jumat malam, setelah data pertumbuhan ketenagakerjaan Amerika Serikat masih meyakinkan. Indeks Dolar AS diperdagangkan di 98.34, naik lebih dari setengah persen dari harga pembukaan.
Departemen Ketenagakerjaan AS melaporkan, Non Farm Payroll (NFP) AS menunjukkan kenaikan 431,000 pekerjaan bulan Februari lalu. Meski data NFP aktual tersebut lebih rendah daripada ekspektasi 492,000, tetapi data NFP AS pada bulan sebelumnya direvisi naik dari 678,000 menjadi 750,000.

Tingkat Pengangguran AS juga turun ke 3.5%, level rendah dua tahun. Perolehan tersebut lebih rendah daripada ekspektasi 3.7%. Pendapatan Rata-Rata Per Jam juga naik ke 0.4%, sesuai eskpektasi.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa momentum ekonomi AS sudah solid di tengah lonjakan inflasi. Artinya, kenaikan suku bunga The Fed berpeluang dilanjutkan lagi. Selain itu, ekonomi Amerika juga cukup tangguh untuk menghadapi perang dengan Ukraina, yang mana memperburuk masalah rantai pasokan dan menambah kenaikan inflasi.
“The Fed fokus pada Tingkat Pengangguran,” kata Chris Low, ekonom FHN Financial di New York. “[Mereka] Semakin percaya diri untuk retorika pengetatan yang agresif.”
Peluang The Fed Tambah Kenaikan Rate Semakin Terbuka
Pendapat senada juga diutarakan oleh Karl Schamotta, analis dari Corpay. Ia menyorot laporan ketenagakerjaan AS yang jelas menunjukkan penguatan. Hal itu dapat melanggengkan ekspektasi terhadap dua atau lebih lagi kenaikan suku bunga tinggi The Fed di bulan-bulan mendatang. Momentum itulah yang menambah tenaga bagi bullish Dolar AS.

Pertemuan FOMC selanjutnya dijadwalkan pada tanggal 3-4 Mei mendatang. Menurut CME Group’s FedWatch, bank sentral AS punya peluang 68.8% untuk menaikkan suku bunga hingga 50 basis poin lagi.
Selain karena ekonomi AS yang semakin gemilang, mata uang AS juga mendapatkan dukungan dari arus safe have. Schamotta menambahkan bahwa sentimemn minat risiko global masih memburuk.
Greenback pun naik karena harapan akan gencatan senjata di Ukraina kembali menciut. Setelah kesepakatan pengurangan serangan di Ukraina oleh Rusia di awal pekan lalu, Presiden AS Joe Biden menilai bahwa tak ada bukti yang jelas bahwa Rusia memegang teguh kesepakatan untuk mengurangi invasi di Kyiv.